Belakangan ini, istilah quit quitting menjadi salah satu topik perbincangan yang hangat di media sosial. Tren ini berasal dari Amerika Serikat, lalu apa yang dapat dilakukan oleh para pengusaha dan HR di Indonesia untuk menghindari dampak quiet quitting pada bisnis?
Quiet quitting dianggap sebagai perlawanan atas budaya kerja keras bahkan hingga membahayakan baik fisik maupun mental karyawan, hustle culture.
Tren ini mungkin akan mempengaruhi etos kerja karyawan di Indonesia jika ada karyawan yang merasa terinspirasi dari tren ini. Lalu apa yang dapat dilakukan oleh employers dan HR untuk antisipasi menghindari dampak quiet quitting di perusahaan? Hal ini yang akan kita bahas lebih lengkap di artikel berikut ini.
Baca juga: 5 Faktor yang Mempengaruhi Employee Engagement, Ini Kata Goto-Bibit
Isi Artikel
ToggleQuiet quitting adalah bentuk disengagement karyawan yang tidak lagi bersedia melakukan pekerjaan lebih dari deskripsi pekerjaan yang telah disepakati dalam kontrak kerja. Hal ini dilakukan demi kesehatan mental karyawan atau mereka ingin mendapatkan work-life balance yang lebih baik.
Karyawan yang melakukan quite quitting masih melakukan pekerjaannya namun hanya sampai batas cukup atau bare minimum. Mereka tidak lagi ingin bekerja jauh melebihi ekspektasi atau apa yang tertulis di kontrak kerja.
Istilah ini mulai ramai diperbincangkan di Tiktok meskipun konsep ini sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru dalam dunia kerja.
Dengan melakukan quiet quitting, karyawan ingin melakukan perlawanan atas kondisi kerja yang tidak lagi mempertimbangkan work-life balance.
Hal ini tentu akan berdampak cukup signifikan pada bisnis jika terus terjadi.
Salah satu pertanda paling signifikan pada karyawan yang melakukan quiet quitting adalah adanya penurunan produktivitasnya. Jika ada karyawan yang sebelumnya merupakan top performer namun prestasinya menurun dan menjadi seperti kebanyakan karyawan lain maka perlu diperhatikan.
Jika ada karyawan yang pada awalnya kooperatif yang berubah menjadi cenderung lebih argumentatif, hal ini dapat menjadi salah satu pertanda ada kesulitan yang dihadapinya.
Bagi karyawan yang berubah menjadi quiet quitter, fase berdebat ini bisa jadi merupakan cara mereka untuk menghindari melakukan tugas tambahan. Namun sebaliknya, karyawan yang awalnya cukup vokal namun mendadak berubah lebih pendiam bisa jadi merupakan tanda disengagement.
Manajer juga perlu untuk memperhatikan karyawan yang tidak lagi berinisiatif, ia tidak lagi proaktif mencari solusi dan hanya mengikuti instruksi. Perubahan perilaku ini mungkin terjadi akibat perubahan suasana hati atau bisa juga karena menurunnya kepuasan kerja.
Karyawan memang berhak atas waktu personal namun kebutuhan untuk lebih banyak waktu personal secara ekstrim mungkin merupakan sinyal ada masalah yang lebih serius.
Masih berhubungan dengan poin selanjutnya, jika ada karyawan mulai menarik diri dari proyek-proyek yang membutuhkan kerja sama tim mungkin ini bisa dilihat sebagai sinyal quiet quitting. Namun juga perlu dicatat bahwa hal ini bukan berarti mereka adalah rekan kerja yang buruk.
Sebelum menyelesaikan masalah, tentu penting bagi employer untuk mengenali akar masalah. Bahkan bila tanda-tanda quiet quitting pada karyawan belum terlihat, beberapa masalah ini perlu menjadi perhatian sebelum benar-benar menjadi masalah di kemudian hari.
Salah satu yang menjadi kritik utama pelaku quiet quitting adalah beban kerja yang mereka terima. Banyak dari mereka yang mengaku melakukan kerja yang seharusnya merupakan tanggung jawab 2-3 orang. Apalagi tidak diimbangi dengan kompensasi yang sesuai.
Banyak dari pelaku quiet quitting mengaku mendapatkan kompensasi yang terlalu kecil untuk beban kerja yang terlalu banyak.
Akar masalahnya adalah karyawan merasa tidak mendapatkan penghargaan yang cukup untuk usaha yang mereka lakukan. Hingga kemudian, ia memutuskan menurunkan usahanya untuk menyesuaikan dengan kompensasi dan penghargaan yang didapatkan.
Baca juga: Hubungan antara Penilaian Kinerja Terhadap Penyesuaian Kompensasi
Quiet quitting bisa jadi merupakan reaksi dari kurangnya work-life balance atau tidak adanya batasan yang jelas antara waktu kerja dan waktu personal. Beberapa contoh sederhana adalah email, pesan atau telepon terkait pekerjaan yang terus-terusan diterima oleh karyawan bahkan di luar jam kerja dan pada saat cuti.
Mungkin jika terjadi sesekali hal tersebut dapat dilihat sebagai kondisi darurat namun jika terus-menerus terjadi karyawan merasa waktu pribadinya tidak dihargai bahkan merasa beban kerjanya terlalu berat.
Di dunia yang ideal, karyawan memiliki jam kerja yang ajeg sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati di awal. Namun, bisnis tidak bisa berjalan demikian, ada kalanya sangat sibuk sehingga diperlukan lembur.
Perusahaan perlu dapat membedakan mana kebutuhan lembur di masa sibuk atau memang ada kenaikan beban kerja sehingga perlu merekrut orang baru. Membiarkan karyawan bekerja ekstra dalam jangka panjang juga bukan kebijakan yang tepat.
Ketika ada kenaikan beban kerja dan tanggung jawab artinya ada perubahan yang perlu dilakukan pada kontrak kerja sehingga mungkin juga perlu ada penyesuaian kompensasi secara adil.
Dalam kasus kenaikan tanggung jawab, tidak semua orang memiliki ambisi untuk mendaki tangga karir. Oleh karena itu perlu didiskusikan secara terbuka.
Diskusi tentu sulit dilakukan jika tidak ada budaya kerja mendengarkan dan hubungan empatik yang terus menerus dibangun dan dirawat. Cara membangun dan merawatnya bisa dengan menguatkan strategi dan program employee engagement misalnya.
Quiet quitting memungkinkan karyawan untuk menjaga jarak sehingga rekan kerja atau karyawan tidak bisa menginvasi waktu pribadi. Oleh karena itu, sebelum karyawan mengambil reaksi ekstrim beberapa batasan perlu diberlakukan:
Dunia bisnis bisa berubah dengan cepat, apalagi startup, hal ini akan mempengaruhi beban kerja yang didapatkan. Oleh karena itu, penting untuk memberikan gambaran terbuka terkait posisi karyawan di masa wawancara.
Penting juga untuk menanyakan ekspektasi karyawan terkait karir dan posisi yang dilamar. Mungkin akan membantu juga apabila disertai linimasa kapan beban pekerjaan akan menjadi sibuk atau bagaimana perkembangan posisi ini ke depannya.
Salah satu yang memicu quiet quitting adalah rasa kurang diapresiasi. Perusahaan dapat menghindari quiet quitting dengan menyiapkan program penghargaan kepada karyawan, baik secara finansial maupun non finansial.
Secara finansial misal ada tunjangan dan bonus. Namun tidak kalah penting secara non finansial, seperti kebiasaan mengucapkan terima kasih, maaf dan tolong.
Selain itu, program pelatihan dan pengembangan karyawan juga penting untuk terus dilakukan.