Peraturan perusahaan sebisa mungkin inklusif untuk mengakomodasi kepentingan karyawan di perusahaan, contoh, karyawan yang juga sekaligus ibu.
Tenaga kerja di atas 15 tahun yang merupakan perempuan berjumlah 50,70 juta.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020
Dari data ini, tentu saja termasuk di dalamnya adalah ibu atau calon ibu yang bekerja.
Oleh karena itu, dalam undang-undang ketenagakerjaan tercakup juga perlindungan terhadap pekerja perempuan termasuk ibu. Di luar undang-undang dan peraturan pemerintah, peraturan perusahaan juga memiliki kekuatan hukum untuk melindungi dan mendukung pekerja perempuan di lingkungannya.
Table of Contents
ToggleSalah satu tujuan penting dari peraturan perusahaan adalah memberikan jaminan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban pekerja dan pemberi kerja. Di samping itu, peraturan perusahaan juga diharapkan bisa menjadi pedoman masing-masing pihak, baik pekerja maupun pemberi kerja, untuk melaksanakan hak dan kewajibannya.
Peraturan perusahaan penting untuk:
Lalu apa yang harus ada dalam peraturan perusahaan untuk mewujudkan fungsi tersebut?
Menurut Pasal 111 UU Ketenagakerjaan, beberapa komponen penting harus dimuat di dalam peraturan perusahaan adalah:
Perusahaan yang memberikan perhatian lebih pada well-being karyawan menjadi salah satu nilai tambah.
Ketika perusahaan menerapkan peraturan yang sesuai atau bahkan melebihi dari peraturan ketenagakerjaan terkait dengan ibu bekerja akan menjadikan citra perusahaan menjadi lebih baik.
Hal ini seiring dengan semakin tingginya kesadaran untuk menyeimbangkan karir dan kehidupan personal atau yang lebih sering dikenal dengan work-life balance.
Dilihat dari data BPS di atas, jumlah pekerja perempuan mencapai jumlah yang cukup signifikan.
Mungkin, ada di antara pembaca yang mempertanyakan bagaimana mungkin peraturan perusahaan yang menyebutkan cuti melahirkan selama 6 bulan untuk karyawan perempuan, bisa meningkatkan produktivitasnya sementara kehadirannya semakin minim?
Panjangnya waktu kerja tidak sama dengan produktivitas. Betul bahwa waktu kerjanya menjadi lebih pendek namun dengan well-being yang lebih baik, lingkungan kerja yang mendukung perannya sebagai ibu maka produktivitas bisa meningkat.
Peningkatan produktivitas secara individu pada akhirnya juga mempengaruhi produktivitas organisasi secara keseluruhan.
Salah satu faktor yang bisa meningkatkan employee engagement adalah lingkungan kerja. Bagi ibu bekerja, memiliki lingkungan kerja yang suportif pada perannya sebagai ibu di luar pekerja akan menjadi nilai tambah.
Dengan meningkatnya employee engagement di kalangan karyawan perempuan maka angka turnover bisa ditekan.
Bagi perusahaan, umumnya, melakukan rekrutmen membutuhkan usaha dan biaya yang lebih. Hal ini bisa diminimalisir dengan meningkatkan angka employee engagement dari karyawan yang sudah ada.
Dalam berbagai peraturan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, perempuan, bukan hanya ibu pekerja memiliki beberapa hal yang diatur oleh negara.
Dalam Pasal 81 (1) UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 disebutkan bahwa, “Pekerja/pekerja perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua.”
Pasal 82 (1) UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 mengamanatkan untuk perempuan yang hamil dan melahirkan bisa mendapatkan hak cuti.
“Pekerja/pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.”
UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003
Beberapa perusahaan mengizinkan karyawan yang bersangkutan untuk mengatur sendiri kapan cuti akan dipergunakan. Misalnya, ada karyawan yang memilih menggunakan cuti melahirkannya 3 bulan penuh setelah kelahiran sehingga mengambil cuti mepet hari perkiraan lahir (HPL). Hal ini menjadi kewenangan peraturan perusahaan untuk mengatur lebih jauh.
Pekerja perempuan yang sedang hamil berada dalam kondisi fisik yang cenderung lebih rentan dibandingkan dengan kondisi sebelum hamil.
Untuk memberikan jaminan perlindungan kepada pekerja yang hamil, Pasal 76 (2) UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 menyatakan
“Pengusaha dilarang mempekerjakan perempuan hamil yang bisa berbahaya bagi kandungan dan dirinya. “
UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003
Hal ini misalnya, tidak menugaskan pekerja hamil keluar kota sehingga membuatnya harus menggunakan pesawat terutama pada trimester awal dan akhir. Contoh lain, tidak memberikan long shift kepada pekerja yang sedang mengandung.
Pengusaha wajib mengikutsertakan karyawan ke dalam program BPJS Kesehatan sehingga biaya persalinan bisa ditanggung oleh BPJS.
Jika karyawan belum terdaftar maka perusahaan wajib memberikan bantuan dana dan fasilitas kesehatan sesuai standar BPJS.
Keguguran merupakan salah satu risiko kehamilan yang tidak terhindarkan.
“Apabila keguguran kandungan dialami karyawan perempuan, karyawan tersebut berhak untuk beristirahat selama 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan/bidan.”
UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003
Hal ini tertuang dalam Pasal 82 (2) UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003. Selama masa cuti, perusahaan tetap harus membayarkan upah sesuai peraturan.
Hak ini diatur dalam Pasal 83 UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.
“Pekerja/pekerja perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama bekerja.”
UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003
Hal ini mengingat pemberian ASI kepada bayi juga diatur dalam UU Kesehatan No.36 Tahun 2009.
Artinya, hal ini perlu tertuang dalam peraturan dan kebijakan perusahaan lebih lanjut, misalnya ruang menyusui atau memerah ASI, menyediakan kulkas untuk menyimpan ASI perah jika memungkinkan dan lain sebagainya.
“Sekembalinya ke tempat kerja, perusahaan dilarang mendiskriminasi pekerja wanita yang baru saja kembali setelah cuti melahirkan. Mereka berhak menduduki kembali posisinya serta mendapatkan gaji yang sama dengan gaji yang diterima sebelum cuti melahirkan.”
Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Permen 03/Men/1989 yang mestinya menjadi salah satu contoh yang bisa diimplementasikan dalam peraturan perusahaan.
Pekerja wanita yang melakukan shift malam misalnya, mesti mendapatkan fasilitas khusus seperti angkutan penjemputan yang menjamin keselamatan mereka.
Hal ini diatur dalam Pasal 76 UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.
“Pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Perusahaan juga dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Selain itu, pihak perusahaan wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pegawai wanita baik yang sedang hamil maupun tidak yang memiliki kerja shift berangkat dan pulang antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.”
UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003
Contoh peraturan perusahaan yang mendukung pekerja perempuan dan juga ibu bekerja bisa dimulai dari menjalankan semua peraturan dari pemerintah. Bisa juga perusahaan menambahkan sesuai dengan kemampuan dan kondisi perusahaan.