Insight Leader

Membangun ‘Work Culture’ di Industri Tech

Mulai dari perusahaan rintisan hingga The Big Four — kita telah mengenal ‘work culture’ atau kultur kerjanya yang unik sejak lama. Mulai dari camilan gratis, gym, hingga “nap pod” — fasilitas ini diberikan secara cuma-cuma untuk membuat karyawan tetap merasa nyaman demi menjaga keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan, sambil tetap produktif.

Namun, apakah ini strategi terbaik yang dapat perusahaan tech lakukan untuk membangun work culture yang efektif dan benar-benar menjawab apa dibutuhkan oleh karyawan?

Di bacaan ini, Anda juga dapat mengambil beberapa petikan informasi mengenai bagaimana perusahaan non-tech membangun budaya kerjanya — yang mungkin juga bisa menjadi inspirasi bagi Anda!

Bagaimana Umumnya Budaya Kerja di Perusahaan Tech?

Berbicara soal budaya kerja di industri tech, akan kurang rasanya jika kita tidak menengok Google.

Dikutip dari Insightful, salah satu perusahaan teknologi raksasa — Google, telah dinobatkan sebagai “Perusahaan terbaik untuk Bekerja” oleh Great Place to Work Institute dan masuk nominasi Majalah Fortune di tahun 2014. Yang membuat perusahaan ini masuk dalam 50 list teratas sebagai perusahaan impian untuk bekerja.

Google fokus membangun lingkungan kerja yang menyenangkan, di mana setiap orang akan merasa menjadi bagian darinya. Ia menawarkan fleksibilitas dalam hal jam kerja dan istirahat, ruang untuk hiburan seperti games, hingga pingpong.

Karyawan juga mendapatkan layanan cuci mobil, reparasi sepeda, dry cleaning, spa, pusat kebugaran, hingga salon rambut. Selain fasilitas kantor, Google juga menawarkan parental leave yang tak sedikit, beserta berbagai macam sistem yang mendukung karyawan yang sudah berkeluarga.

Apakah ini Strategi Terbaik untuk Membangun ‘Work Culture’ bagi Industri Tech?

Begitu banyak perusahaan mengikuti jejak Google dengan mencoba menerapkan lingkungan kerja yang mendukung penuh fleksibilitas karyawan, melalui cara kerja yang santai, terbuka, dan sangat menyenangkan — namun gagal.

Misalnya, perusahaan teknologi HR Software Zenefits. Budaya kasual yang mereka usung memungkinkan tim sales mereka untuk berfoto setiap mereka mendapatkan klien baru, karyawan juga diizinkan untuk membuat pesta di sekitar kantor.

Sampai suatu hari, manajer gedung dan keamanan mereka menemukan hal-hal yang dianggap sangat mengganggu di kantor. Perusahaan bahkan membuat beberapa peraturan keras, yang membuat CEO mereka mengundurkan diri.

Dua studi yang di-publish dalam Sociological Perspectives and Community, Work, & Family oleh Harvard Business Review, juga menyorot bagaimana budaya fleksibel yang ditawarkan perusahaan dapat menyebabkan bias — dan menimbulkan masalah keseimbangan hidup bahkan kesehatan mereka.

Responden mengungkapkan bagaimana terkadang mereka jadi sulit mengatur waktu kapan harus bekerja, kapan harus meninggalkan pekerjaan — bahkan saat mereka tengah mengambil cuti.

Temuan ini juga menunjukkan bagaimana bias fleksibilitas di tempat kerja mereka justru membuat mereka cenderung merasa ‘kurang bahagia’ secara profesional dan mempertimbangkan untuk berhenti dari pekerjaannya dalam waktu dekat.

Persepsi bias terhadap fleksibilitas bekerja berdampak pada produktivitas berlebihan yang berdampak pada pekerjaan, masalah kesehatan ringan, hingga gejala depresi, dan gangguan tidur.

Budaya kerja yang fleksibel, santai, dan menyenangkan dipercaya dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Namun, perusahaan perlu menerapkan batasan tertentu agar produktivitas tak terganggu.

Menciptakan Budaya Kerja secara Tepat

Penelitian dari Hay Group menemukan bahwa karyawan dengan tingkat keterlibatan yang tinggi, rata-rata, 50% lebih besar kemungkinannya untuk memberikan kontribusi terbaiknya — di luar batas ekspektasi — dibandingkan pekerja dengan tingkat keterlibatan yang rendah.

Bagaimana membangun keterlibatan karyawan melalui budaya kerja yang tepat? Inilah beberapa cara yang dapat Anda lakukan:

Dukung Keberagaman Karyawan Anda

Cobalah untuk mengakomodasi setiap perbedaan tanpa membatasi diri pada kategori keberagaman tradisional — gender, ras, usia, etnis, dan sejenisnya.

Misalnya, di LVMH (Moët Hennessy Louis Vuitton), Anda dapat menemukan budaya kerja yang unik, di mana karyawannya dapat berkembang dan sangat mendukung kolaborasi.

Pertama, LVMH menekankan inovasi sebagai nilai inti perusahaan. Mereka bahkan menyelenggarakan LVMH Innovation Award yang menyoroti startup global terbaik, menunjukkan komitmen mereka terhadap inovasi dan kreativitas yang berkelanjutan.

Kedua, LVMH juga bersikap sangat terbuka terhadap keberagaman dan inklusi, dengan kebijakan yang mencakup lebih dari 190 kebangsaan dan berbagai generasi untuk para pekerjanya. Kebijakan ini menyoroti bagaimana LVMH mendukung perspektif yang berbeda untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi.

Bangun Transparansi

Bangun transparansi bagi karyawan agar mereka dapat bekerja secara efektif, terutama saat lingkungan kerja bersifat dinamis dan penuh tantangan.

Banyak manajer menganggap pembatasan informasi adalah upaya agar segalanya berjalan lebih efisien. Namun, berusaha terus menerus menyampaikan gambaran positif meskipun kondisi sedang buruk, demi menjaga loyalitas — bukanlah solusi.

Menyampaikan berita buruk memang tidak mudah, namun perlu disadari bahwa hal ini dapat menghambat aliran informasi penting.

Sebagai contoh, Mads Øvlisen, CEO Novo Nordisk pada era 1990-an, tidak diberitahu mengenai pelanggaran peraturan FDA di pabrik insulin di Denmark yang hampir menyebabkan produk tersebut dilarang di pasar AS.

Hal ini terjadi karena budaya perusahaan yang menghindari penyampaian berita buruk kepada jajaran eksekutif.

Sebagai respons, Novo Nordisk melakukan reformasi besar-besaran terhadap sistem manajemen mutu mereka, meliputi proses, prosedur, dan pelatihan untuk seluruh personel yang terlibat.

Inisiatif ini kemudian diperluas ke berbagai aspek lain seperti pengembangan produk, manufaktur, distribusi, dan penjualan.

Novo Nordisk juga menciptakan “Novo Nordisk Way,” serangkaian prinsip manajemen yang didefinisikan secara eksplisit, dan memulai proses untuk memastikan aliran informasi yang terbuka dan jujur dalam perusahaan.

Tim auditor internal kini secara rutin mengunjungi cabang-cabang perusahaan di seluruh dunia, wawancara dengan karyawan dan manajer secara acak untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip ini diterapkan secara konsisten.

Dukung Pengembangan Karier Karyawan

Perusahaan ideal tidak hanya mengembangkan karyawan terbaiknya, tetapi juga mendorong mereka mencapai potensi terbaiknya.

Menginvestasikan waktu dan sumber daya untuk mengembangkan staf yang ada jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan biaya mencari karyawan baru.

Kita dapat melihat bagaimana McDonald’s di Inggris, yang terkenal akan efisiensi biaya tetapi juga tidak tanggung-tanggung dalam berinvestasi pada pengembangan karyawannya.

Setiap tahunnya, McDonald’s Inggris mengalokasikan dana sebesar £36 juta (sekitar $55 juta) untuk membantu 87.500 karyawan mereka memperoleh berbagai kualifikasi akademik yang diakui secara nasional.

Sebagai salah satu penyedia pelatihan magang terbesar di negara itu, McDonald’s telah berhasil memberikan lebih dari 35.000 kualifikasi sejak tahun 2006.

Dengan rata-rata enam kelas per minggu, banyak karyawan berhasil meraih sertifikat resmi dalam mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris. Bahkan, setiap hari ada sekitar 20 karyawan yang meraih kualifikasi magang.

Tak hanya berhenti pada tingkat karyawan garis depan, McDonald’s juga memperluas program pelatihan manajemen mereka untuk menjangkau para eksekutif, manajer umum restoran, manajer departemen, dan manajer shift.

Pelatihan ini terfokus pada pengembangan keterampilan komunikasi dan kemampuan pelatihan yang esensial untuk memotivasi tim dan mencapai target penjualan.

Keberhasilan investasi ini tidak hanya diukur dari peningkatan pendapatan atau profit, tetapi juga dari tingkat pergantian karyawan dan manajer yang relatif rendah.

Program ini telah berhasil menurunkan angka turnover dan membuat McDonald’s mendapatkan pengakuan dari Great Place to Work Institute sebagai salah satu dari 50 tempat kerja terbaik setiap tahun sejak 2007.


Safira Adnin

Recent Posts

Peran AI di Dunia Kerja Semakin Disorot: Microsoft hingga Apple Dorong Keterampilan & Implementasi AI

Adopsi teknologi Kecerdasan Buatan (AI) kian berkembang dan telah mengubah lanskap dunia kerja. Hasil survei…

2 weeks ago

Merekrut Kandidat Level Senior & Eksekutif, Butuhkan Strategi Berbeda?

Menurut studi Deloitte dan The Manufacturing Institute, menemukan talenta berkualitas dengan keterampilan yang tepat kini…

2 weeks ago

Panduan Menyusun Struktur Kompensasi Kompetitif Talenta Senior & Eksekutif

Dalam dunia bisnis yang semakin kompetitif, struktur kompensasi menjadi salah satu pilar utama dalam menarik,…

2 weeks ago

Membangun Employer Branding: Strategi Menarik Kandidat Senior Level di Industri Finance

Menarik kandidat untuk level senior, manajer bahkan eksekutif selalu menjadi tantangan di semua industri, termasuk…

2 weeks ago

Tren Inflasi Jabatan untuk Menarik Talenta, Strategi yang Efektif?

Titel pekerjaan atau job title berperan penting dalam strategi menarik maupun mempertahankan talenta. Saat ini,…

3 weeks ago

Tren Utama Industri Retail dan FMCG di Tahun 2024

Ekonom memperkirakan bahwa tahun 2024 akan menjadi tahun pertumbuhan ekonomi yang melambat. Bagi perusahaan produk…

3 weeks ago